Diskusi SATUPENA, Siti Maemunah: Bicara tentang Krisis Lingkungan Tak Bisa Lepas dari Konsep Ekstraktivisme

  • Bagikan
Siti Maemunah.

HARIANINDONESIA.ID – Bicara tentang krisis lingkungan tak bisa dilepaskan dari konsep ekstraktivisme.

Hal itu diungkapkan Siti Maemunah dari Tim Kerja Perempuan dan Tambang, Badan Pengurus JATAM dalam diskusi Hati Pena di Jakarta, Kamis, 18 Juli 2024, yang diselenggarakan Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA dega  ketua umumnya Denny JA.

Dalam diskusi bertema lingkungan itu, Siti Maemunah memaparkan, ekstraktivisme adalah kegiatan yang membongkar dan memindahkan sumber daya alam dalam skala besar, baik berupa bahan mentah yang tidak diproses (atau diproses sebagian), terutama untuk diekspor.

“Ekstraktivisme tidak terbatas pada tambang mineral atau migas, tetapi juga pertanian, kehutanan, bahkan perikanan dan juga pariwisata,” kata Maemunah.

“Pandangan ini berasal dari pengalaman negara-negara Amerika Latin, tetapi kemudian nyambung dengan pengalaman Indonesia,” tambahnya.

Menurutnya, ini adalah kombinasi praktik pembangunan dan pemangsa, negara mengekstraksi dengan mengorbankan masyarakat. Ini didukung ekspor berbagai komoditi ekstraktif, termasuk minyak, gas, kayu dan mineral.

Ia menambahkan, praktik ini sudah berlangsung lama. Sejak zaman kolonial (1800-an), pascakolonial (1945-1966), rezim ekstraktif (1966-1999), rezim ekstraktif dengan desentralisasi (1999-2009), dan rezim ekstraktif dengan “resource nationalism” (2009-sekarang).

Katanya, ada pemerintahan progresif dan seolah pro-rakyat, tapi justru secara aktif mempromosikan ekstraktivisme. Tetapi mereka melakukannya dengan strategi berbeda, yang mengombinasikan reformasi kebijakan dan aturan (UU Cipta Kerja, amandemen UU Minerba) sampai subsidi keuangan.

Tetapi, katanya, juga ada pengakuan terhadap hutan-hutan adat. Pada 2013, ada tuntutan masyarakat adat yang dimenangkan bahwa hutan adat itu bukan bagian dari hutan negara, walau perlu proses untuk diakui bahwa wilayahnya adalah hutan adat.

Maemunah memandang, yang sebenarnya terjadi adalah krisis hari ini, dan juga terutama pada era Soeharto, rezim itu hidup atau menghidupi kekuasaannya dari berbagai eksploitasi alam, sehingga bisa bertahan sampai 32 tahun.

SIMAK JUGA :  Bea Cukai Pulang Pisau Musnahkan Ratusan Ribu Batang Rokok Ilegal

“Kalau kita menggunakan pendekatan ekstraktivisme ini ada logika penjajahan yang berulang dengan model eksploitasi alam,” ujarnya.

“Mengekstraksi alam dengan mengorbankan masyarakat, ini seharusnya dilihat dari ekologi politik bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di bawah atau di lokal itu tidak lepas dari yang terjadi di global,” tambahnya.

Dalam diskusi itu, Maemunah membatasi paparannya dalam konteks tambang.

“Walau sebenarnya kalau kita bicara menggali tambang, maka otomatis hutan dan lahan di atasnya juga harus dibongkar. Sumber air juga akan rusak,” tuturnya. (K) ***

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *