HARIANINDONESIA.ID – Dalam menulis cerita anak, butuh karakter yang menginspirasi atau memiliki karakter yang mereka kagumi, seperti keberanian atau rasa ingin tahu.
Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Satrio Arismunandar menanggapi tema diskusi tentang cara mengemas imajinasi menjadi cerita anak di Jakarta, Kamis, 14 November 2024 malam yang diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA dengan ketua umumnya penulis senior Denny JA.
Diskusi yang dikomentari Satrio Arismunandar itu akan menghadirkan narasumber Dian Kristiani, penulis 300 buku anak.
Satrio mengungkapkan, menulis cerita untuk anak-anak memerlukan pendekatan berbeda dibanding menulis untuk pembaca dewasa.
“Bahasa dan gaya penulisan harus sederhana dan jelas. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak sesuai dengan usia mereka.”
“Hindari kalimat panjang dan kosakata yang terlalu kompleks,” ujarnya.
Satrio menekankan pentingnya memakai imajinasi. “Anak-anak menyukai hal-hal yang memicu imajinasi, seperti deskripsi yang kaya tentang dunia magis atau karakter hewan yang berperilaku seperti manusia,” tuturnya.
“Tema dan pesan moralnya harus relevan dengan dunia anak. Tema harus dekat dengan kehidupan sehari-hari anak atau hal-hal yang menarik bagi mereka, seperti persahabatan, keberanian, atau kebaikan hati,” ungkap Satrio.
Menurut Satrio, cerita anak sering mengandung pesan moral, tetapi ini sebaiknya disampaikan dengan cara yang alami dan tidak terasa menggurui.
“Anak-anak cenderung lebih menyukai plot yang mudah dipahami, dengan alur yang runtut dan konflik yang jelas, serta resolusi atau penyelesaian masalah yang memuaskan,” katanya.
Satrio menjelaskan, anak-anak memiliki rentang perhatian yang lebih pendek, sehingga cerita untuk anak biasanya lebih singkat dan langsung ke inti masalah.
“Struktur cerita anak juga harus jelas. Sebuah cerita dengan awal, tengah, dan akhir yang terstruktur akan membantu anak-anak mengikuti alur cerita dengan mudah,” kata mantan cerpenis cerita remaja ini.
Satrio menambahkan perbedaan utama menulis cerita anak dengan menulis untuk dewasa. Cerita untuk dewasa melakukan pendalaman psikologis, sering menggali lebih dalam sisi emosi karakter.
Sedangkan untuk anak, kata Satrio, ceritanya lebih langsung tanpa terlalu banyak nuansa kompleks. Dalam cerita anak, topik diperkenalkan secara lebih sederhana dan sering kali dipadukan dengan elemen fantasi. (K) ***