Oleh : Nanda Abraham)*
Oligarki ( kekuasaan berada di tangan segelintir orang ) saat ini bersifat terstruktur, sistematis dan masif, karena adanya kolaborasi antara Jokowi, keluarga cendana, oknum-oknum jenderal aktif maupun mantan jenderal dan para intelektual politisi yang haus kedudukan serta para konglomerat yang sudah nyaman dengan sistem liberalisasi ekonomi ( pasar bebas ) dimana berlaku siapa yang kuat dia yang menang.
Saat mulai dicanangkan istilah globalisasi ekonomi ( dengan sistem neo-liberalisme dan neo-kapitalisme ) di indonesia. Sistem otoriter yang cenderung militeristik era soeharto, berganti ke era reformasi dengan sistem demokrasi ekonomi yang bersifat pasar bebas dan demokrasi politik yang bersifat transaksional.
Proses 25 tahun pasca reformasi 1998 sampai ke pemilu 2024, sistem pasar bebas sesungguhnya menguatkan cengkraman kapitalisme global di Indonesia melalui kerjasama koorporasi yang semakin menggurita dan menguasai ekonomi indonesia.
Realita benih oligarki sudah ada sejak era orba yang memberikan kesempatan bagi korporasi (pengusaha ) keturunan Cina yang kemudian melahirkan dan terbentuknya istilah konglomerasi yg memonopoli ekonomi nasional. Jusuf Kalla mengatakan ekonomi indonesia dikuasai lebih dari 50% oleh cina atau tionghoa (kompas 12/5/2023)
Konspirasi antara elit politik yang haus kekuasaan dan para konglomerat bertemu pada satu kepentingan melanggengkan sistem “monopoli” gaya baru sejak sistem multipartai dan pemilihan presiden secara langsung diberlakukan pasca amandemen UUD 1945.
Kelompok oligarki sangat paham mayoritas rakyat masih berkutat pada urusan “perut alias sekedar makan” karena kurangnya pendidikan mayoritas rakyat indonesia. Sedangkan rakyat yang berpendidikan tinggi hanya minoritas.
Lebih minoritas lagi adalah para golongan intelektual, cendikiawan, budayawan, rohaniawan yg menggaungkan isu soal konstitusi, etika moral dan demokrasi.
Dari uraian diatas terdapat benang merah begitu semakin kuatnya jokowi dan oligarki. Dukungan dana besar para kelompok konglomerat dan dukungan Jokowi sebagai Presiden telah membawa keberhasilan memenangkan prabowo gibran.
Dulu konglomerat tidak secara langsung menampilkan representatifnya secara terbuka dalam mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden, tapi kini secara langsung berani tampil dan dikomandoi langsung oleh Boy Thohir, salah satu CEO Adaro Energy.
Boy adalah kakak kandung Eric Thohir yang saat ini sebagai Menteri BUMN dalam kabinet jokowi) yang menyebut beberapa group konglomerat seperti Djarum Group, Sampoerna Group, Ninin the riches wanita indonesia ( baca: Arini Subianto, Presdir Persada Capital Utama sekaligus Komisaris Pt. Adaro Energy Tbk ) dan konglomerat lainnya yang mendukung Prabowo Gibran.
Apa yang akan terjadi Pasca pemilu 2024 yang menghasilkan suara sementara kemenangan Prabowo Gibran?
Dari pernyataan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Andi Widjajanto, Deputi 0.5 TPN Ganjar Mahfud, saya mencermati hasil kemenangan Prabowo Gibran kemungkinan besar akan mendapatkan legitimasi konstitusi, walau pun disebut cacat moral dan etika, karena keputusan MK No.90 th 2023, yang meloloskan usia dibawah 40 tahun bisa dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Meskipun sebagian masyarakat tidak bisa menerima keputusan tersebut, dapat diramalkan, hanya terjadi riak-riak kecil saja dan pemerintahan oligarki akan tetap berjalan meneruskan program dan proyek-proyek mercusuarnya. Rakyat cukup dikasih BLT, Bansos, dan tambahan makan siang gratis dan susu gratis.
Perubahan bisa terjadi, hanya jika ada tekanan kuat rakyat yang dikomandoi langsung oleh Megawati dan para ketum parpol koalisi paslon 03 yang beraliansi dengan paslon 01 dan ketum parpol koalisnya untuk menolak Pemilu 2024 karena cacat etik dan moral.
Namun, beranikah Megawati memimpin kembali rakyat seperti saat melawan rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto dulu?
Jakarta, 17 Februari 2024
*) Penulis adalah Ketum Alumni SMA Jaringan Bersama Indonesia ( ASJBI )