Oleh : Awaluddin Awe)*
Beberapa hari lalu, saya dan sejumlah wartawan diundang oleh Kadis Kominfo Kota Padang Panjang Drs H Ampera Salim, SH,MSi untuk sebuah forum diskusi yang dibungkus dengan nama fokus grup discusion (FGD).
Topik yang diambil dalam FGD itu adalah tentang peranan dan partisipasi Pers Dalam Pembangunan Perekonomian Kota Padang Panjang.
Saya mengawali diskusi dengan sebuah pemaparan tentang potret Padang Panjang hari ini yang berjamuran dengan cafe baru.
Saya menyebut fenomena bertumbuhnya cafe itu, adalah sebuah proses ekonomi, dimana terjadi transaksi antara penjual dan pembeli.
Jika jumlah penjual dan pembelinya banyak, maka akan terjadi proses perputaran uang di Padang Panjang. Semakin banyak perputaran uang disatu tempat, maka dapat dipastikan akan menimbulkan proses multiflier effect atau efek multi atau banyak dampak terhadap sektor lain, khususnya pasar.
Sebab barang barang yang ditransaksikan di cafe pada umumnya berupa makanan dan minuman. Sumber dan bahan baku makanan dan minuman itu, pada dasarnya ada di Pasar.
Bagaimana sikap pemerintah kota terhadap pertumbuhan cafe itu, kata saya, fasilitasi. Berikan ruang kehidupan bagi mereka, bila perlu beri kemudahan izin dan kemudahan lainnya.
Bisnis cafe di Padang Panjang cukup prospektif. Alasannya kota Padang Panjang adalah tempat lalu orang dari tiga sudut besar: Padang-Padang Pariaman ke Bukittinggi atau ke Batusangkar dan Solok atau sebaliknya.
Selain itu, iklim kota Padang Panjang cocok untuk mendirikan cafe. Orang butuh ruang yang hangat untuk bertemu, berdiskusi atau melepas penat.
Tetapi kehadiran cafe akan memberikan efek sosial bagi masyarakat Padang Panjang. Salah satunya perubahan style kehidupan, dari biasa duduk di lapau jadi suka duduk di cafe.
Apa beda lapau dengan cafe. Pada satu sisi sama saja. Cuma isinya saja yang berbeda. Tetapi habitat lapau dan cafe memang berbeda. Jika di lapau pada umumnya peminatnya adalah kaum adam, maka di cafe akan lebih banyak kaum hawa.
Apa sebab, sebabnya adalah kaum hawa secara adat tidak pantas duduk di lapau bercampur dengan laki laki. Makanya, begitu cafe dibangun, banyak kaum hawa memanfaatkan cafe sebagai tempat nongkrong dengan sesamanya.
PROFIL WISATA
Cafe, dalam bentuknya mencirikan aktifitas pariwisata, sebab dalam idiom cafe ada disebut pengunjung dan tamu. Sudah dilazim di kota besar terdengar omongan mau handle tamu di cafe besar, misalnya. Atau pengunjung cafe ce, sangat banyak.
Karena dekat idiom wisata, maka tak salah gebyar pembangunan cafe di Padang Panjang akan memberikan efek terhadap perkembangan pariwisatanya.
Tinggal lagi, bagaimana Dinas Pariwisata Padang Panjang menggabungkan potensi cafe dengan objek. Ada peserta FGD memberikan pendapat, bangun cafe di lokasi objek wisata lama dan baru, sehingga terjadi sinergitas.
Cafe di Bali justru membentuk objek sendiri alias menjadikan cafe itu sebagai objek tujuan pengunjung. Artinya tamu yang datang kesitu memang semata ingin mencicipi makanan ringan dan minuman yang ada di cafe tersebut.
Maka jangan heran jika di Bali terdapat kawasan yang semuanya berisikan cafe berbagai selera. Pengunjung sepanjang siang dan malam tumplek disitu.
Apa bedanya di Padang Panjang. Hal yang sama di Bali dapat juga dilakukan di Padang Panjang. Padang Panjang secara taste bisa dijadikan ‘ kota cafe’. Sebab kotanya kecil dan sangat mudah menata cafe.
Apakah kemudian pengunjung akan datang, tamu akan tiba. Semuanya tergantung perencanaan awal. Dinas pariwisata dan pelaku bisnis kuliner harus duduk satu meja: bagaimana merancang cafe style siang dan malam. Bagaimana design tempat dan mana lokasi yang cocok.
WAJAR BERTRANSFORMASI
Dalam pandangan saya pribadi, sebuah kampung dulu, kini menjadi kota dan bertransformasi menjadi metropoliten kecil, adalah sesuatu yang wajar saja.
Jika dulu Padang Panjang dikenal sebagai kota pendidikan dan perdagangan, kemudian dalam perjalanannya berubah menjadi kota trend wisata, saya kira hal yang biasa saja.
Sebab saya yakin dan percaya, bahwa bertumbuhnya sejumlah cafe di Padang Panjang sekarang terjadi secara alamiah.
Awalnya dengan melihat pemandangan yang sama di tempat lain, lalu dibuat pula di Padang Panjang dam ternyata hasilnya bagus. Dari sejumlah cafe yang didirikan pada umumnya banyak pengunjung, terutama di waktu malam.
Sebab disadari atau tidak, hampir seluruh warga Padang Panjang yang hobi pejalan, pasti suka nongkrong di cafe. Dengan modal Rp35ribu hingga ratusan ribu, mereka berlama lama duduk di cafe luar.
Lalu apakah kehadiran cafe akan membawa efek buruk terhadap para siswa pondok pesantren dan kelompok masyarakat tertentu yang rentan terhadap perkembangan modernisasi?
Saya kira, itu semua tergantung diri kita sendiri dan tergantung pula dengan sistim edukasi di cafe tersebut. Jika si pemilik mengharamkan aktifitas serong, saya kira perbuatan itu tidak akan berkembang.
Dan pemerintah daerah sepakat membatasi jam operasi cafe tersebut sesuai dengan waktunya.
Efek negatif terhadap santri sebenarnya juga bisa diatasi dengan membuat cafe santri atau cafe syariah. Toch di Padang Panjang juga sudah ada hotel syariah, yang dikhususkan bagi tamu keluarga dan memiliki bukti nikah saat masuk hotel.
Artinya, jangan sampai fenomena cafe ini dimatisurikan dulu, dengan alih alih menjaga citra kota Padang Panjang sebagai kota pendidikan Islami.
Bangun dan kembangkan Padang Panjang sebagai Kota Seribu Cafe, saya yakin multiflier effectnya akan menjadi sangat besar bagi daerah ini.
Namun bagaimana menghidupi seribu cafe itu, itu bukan urusan saya lagi. Saya hanya membangun wacana bagaimana Padang Panjang menjadi kota beda tetapi tepat. Sehingga orang luar beda itu, sebagai sesuatu yang harus didatangi dan dinikmati.
Itu saja. (*)
*)Penulis adalah wartawan dan Pimpred Harianindonesia.id
Wapimred Kabarpolisi.com Jakarta
Berdomisili di Padang Panjang