Titik Puspa, Legenda Musik Indonesia itu telah Berpulang, Indonesia Kehilangan

TITIEK PUSPA
(foto : kredit CNNIndonesia)

JAKARTA – Legenda musik Indonesia, Titiek Puspa meninggal dunia dalam usia 87 tahun pada Kamis (10/4). Musisi bertalenta kuat tersebut meninggal setelah sempat melawan penyakit stroke sejak beberapa waktu lalu.

Kabar duka dikonfirmasi oleh manajer Titiek Puspa, Mia, seperti diberitakan detikPop pada Kamis (10/4). Mia menyebut Titiek Puspa meninggal pada pukul 16.25 WIB.

“Iya sekitar 15 menit lalu,” kata Mia melalui sambungan telepon, seperti diberitakan detikPop pada Kamis (10/4).

Titiek Puspa dikonfirmasi meninggal setelah sebelumnya pihak keluarga dan Inul Daratista membantah informasi yang beredar bahwa penyanyi senior tersebut meninggal.

Konfirmasi Titiek Puspa meninggal juga datang tak lama setelah pihak keluarga mengadakan konferensi pers terkait kondisi dari musisi senior tersebut.

Penyanyi dengan nama asli Sudarwati kelahiran 1 November 1937 dari pasangan Tugeno Puspowidjojo dan sang ibu Siti Mariam, sudah berkarier sejak era Presiden Soekarno, tepatnya pada 1954 dan menghasilkan ratusan karya.

Titiek pun memulai kariernya dengan tak mudah, anak keempat dari 12 bersaudara itu telah menjajal semua seni pertunjukan, mulai dari menyanyi hingga teater.

Perempuan yang akrab disapa Eyang Titiek itu pun dikenal luas sebagai ikon industri hiburan Indonesia.

Namun, Titiek sebenarnya punya cita-cita yang berbeda ketika kecil. Ia sempat bermimpi bisa menjadi seorang guru taman kanak-kanak.

Mimpi itu perlahan beralih saat Titiek Puspa kecil memenangkan berbagai lomba menyanyi. Ia kemudian benar-benar menginjakkan kakinya di industri hiburan saat mengikuti kontes Bintang Radio.

Titiek kemudian semakin sering bernyanyi dari panggung ke panggung hingga kemudian membuat rekaman sendiri dan menulis lagu-lagunya sendiri.

Popularitasnya semakin melesat ketika Titiek Puspa merilis album Doa Ibu yang berisi 12 lagu. Album itu melambungkan nama Titiek berkat lagu Minah Gadis Dusun hingga Pantang Mundur.

Titiek Puspa juga melebarkan sayap ke dunia akting dengan membintangi banyak film layar lebar, seperti Bawang Putih (1974), Inem Pelayan Sexy (1976), Gadis (1980), hingga Apanya Dong (1983), Ini Kisah Tiga Dara (2016).

Titiek Puspa pernah menikah dengan sejumlah pria, yakni seorang karyawan Radio Republik Indonesia pada 1957 dan berakhir beberapa tahun kemudian, dan dengan Mus Mualim pada 1970 hingga 1990.

Eyang pernah didiagnosis kanker serviks pada 2009 dan menjalani pengobatan selama beberapa bulan. Ia pun dinyatakan sembuh usai dua bulan kemoterapi di RS Mount Elizabeth Singapura.

80 Tahun Tour The Grave

Pada saat memasuki usia 80, Titiek Puspa lebih memilih merayakan hari lahirnya dengan sederhana dan penuh filosofis.

Tawaran konser saja ia tolak. Pesta kecil yang digelar keluarganya pun dibatasi.

“Melihat suasana yang kurang bagus dan sebagainya, saya memutuskan di umur 80 tahun ini mengadakan Tour The Grave [ziarah ke makam],” tuturnya.

Tour The Grave dilakukan Titiek dengan mengunjungi 10 makam pahlawan, seperti Jenderal Sudirman, Ki Hajar Dewantara, Bung Karno serta Bung Hatta.

Tak luput ia pun mengunjungi makam yang disebutnya sebagai pahlawan dalam dunia seni hiburan, seperti Ismail Marzuki, Bing Slamet, juga Benyamin.

“Saya bisa 80 tahun ini karena beliau-beliau, karena apa yang beliau kerjakan, hingga Indonesia seperti ini,” kata Titiek.

“Saya datang untuk berdoa, mengucapkan terima kasih dan minta maaf, karena masih ada yang kurang mengerti arti kepahlawanan, arti memerdekakan, arti menyumbangkan jiwa raga, darah, air mata dan nyawa,” ungkap Titiek.

Bagi Titiek, ziarah ke makam yang ia lakukan sejak akhir Oktober hingga Hari Pahlawan pada 10 November membuat hidupnya terasa lebih damai.

Ia mengibaratkan itu seperti sehabis mandi dengan sesuatu yang segar, indah, dan wangi.

Tidak hanya memberikan penghormatan bagi para pahlawan yang telah tiada, Titiek juga mengajak para anak muda untuk melakukan hal-hal positif. Baik dalam menyalurkan energi, bersikap empati, berfantasi atau berkreasi.

“Waktu tidak bisa diulang, anak-anak muda sekarang sudah banyak yang berlomba untuk membuat suatu kebaikan. Bagi yang belum, ayo sekarang, jangan sampai terlambat, jangan sampai menyesal,” pesannya.

Dalam perjalanan hidupnya sendiri, Titiek telah begitu banyak berkontribusi untuk dunia hiburan Indonesia. Karya-karyanya masih menjadi hit hingga kini.

Namun di balik itu, ia juga merupakan seorang pahlawan bagi keluarganya. Pasca ditinggalkan kedua orang tua, Titiek berperan sebagai kepala keluarga.

Dia banting tulang untuk adik-adiknya, pekerjaan apa pun ia terima untuk memenuhi kebutuhan finansial.

“Jadi [ketika] ibu enggak ada, adik-adik sama saya. Rumah kecil, ricuh,” kenangnya sembari mengungkap mencari cara agar kericuhan di rumahnya dapat reda.

Dia pun memilih untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan menyampaikan aturan yang ia buat. Ia menerapkan peraturan kewajiban menghormati satu sama lain.

“Yang penting kalian sekolah, ini [saya] cari uang. Kalau ada yang penting, selama kamar masih nyala, ketok kapan saja, bicara,” ungkapnya.

Untuk Titiek, hal itu bukanlah beban yang berat. Adik-adiknya pun mau mengikuti aturan itu. Terlebih posisi dia sebagai kepala keluarga memang permintaan sang ayah sebelum wafat pada tahun 1973.

Titiek masih ingat betul soal pesan itu. Kala itu, sepulang ia menyanyi, Titiek langsung mengunjungi ayahnya, Tugeno Puspowidjojo di rumah sakit. Saat itu gilirannya. Ia dan keluarga memang gantian menemani Tugeno.

“Bapak saya angkat, saya tanya mana lagi yang sakit, katanya, ‘Wis enggak usah dipikirin, udah enggak apa-apa. Saya mau minta maaf sama kamu, karena dulu saya larang kamu nyanyi tapi sekarang karena kamu nyanyi, kamu bisa urus adik-adik kamu. Jadi sekarang saya titip adik-adik kamu, ya saudara-saudaramu, terimakasih’,” tuturnya mengenang pesan sang ayah sembari termenung.

“Lalu beliau jatuh di pelukan saya dan saya belum ngomong apa-apa. Makin kencang dak peluk, tahu-tahu sudah di rumah. Bapak pergi [meninggal dunia] dan saya pingsan,” lanjutnya.

Permintaan sang ayah itu disebut Titiek telah merasuk ke jiwanya, dan membuatnya menyatukan keseluruh anggota keluarga hingga kini.

Lebih dari empat dekade sudah ia menjaga amanat itu.

Dia bahkan mendirikan Puspa Catering sebagai bisnis keluarga untuk menyatukan keluarga. “Perusahaan saya berikan pada keluarga, saya sudah cukup,” ujarnya.

Titiek yang tumbuh sebagai anak keempat dari 12 bersaudara itu kini dikelilingi anggota keluarga yang jumlahnya mencapai lebih dari 130 orang, termasuk, anak, cucu, dan cicitnya.

Potret keluarga besar Titiek pun ia pajang dalam ruang tamu kediamannya di Jakarta Selatan.

“Itu belum semuanya. Dan foto itu saat cicit saya masih dua, sekarang sudah enam,” ujarnya sembari menunjukkan foto keluarga besar saat pergi tur ke daerah Lembang, Bandung.

“Tidak hafal semua, kalau cucu cicit masih ingat, kalau keponakan ya ‘cah ayu sini, cah bagus’,” ungkapnya sembari tertawa.

“Pokoknya kalau melihat itu [foto keluarga] bangga. Karena dulu, ibu-bapak saya miskin karena perang,” tambahnya.

Kini Titiek Puspa menghabiskan usia senja dengan memandang semua yang telah ia raih, beragam orang yang telah ia semangati, dan lapisan generasi yang menikmati semua karyanya.

Ia akan tetap menjadi sosok Titiek Puspa–tak peduli sebesar atau selegendaris namanya–yang peduli, ceriwis, dan selalu mengundang tawa dan kebahagiaan bagi sekelilingnya.

Terkena Kanker

Menelang tahun 2011 tak akan pernah dilupakan Titiek Puspa. Kala itu, ia divonis terkena kanker saat ia sudah menginjak usia senja, 73 tahun.

Dengan tatapan menerawang di kediamannya yang tenang di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, seniman multi talenta ini mengisahkan kepada CNNIndonesia.com hari demi hari perjuangannya melawan kanker.

Di suatu hari di penghujung 2010, Titiek merasa perutnya kaku. Ia yang tengah bersama dengan anaknya, Petty, mengeluhkan hal tersebut.

“Ini kenapa ya perut terasa kaku,” kata Titiek sambil mengusap-usap perut bagian bawah.

“Ma, coba sekali-kali periksa pap smear,” jawab Petty dengan khawatir. Ia mulai khawatir akan kondisi ibunya mengingat keluarga Titiek memiliki riwayat penyakit kanker.

“Wong ngapain sih? Aku kan enggak pernah apa-apa, bersih. Aku kan orang rumahan,” lanjut Titiek.

Tapi Titiek mengikuti saran anaknya itu menjalani tes yang mampu mendeteksi adanya human papilomavirus penyebab kanker serviks tersebut.

Usai tes, Petty justu yang tampak gelisah, mondar-mandir di depan pintu kamar. Titiek heran.

“Kamu tuh ngapain?” tanya Titiek.

“Enggak apa-apa Ma, enggak apa-apa,” jawab Petty.

“Ada apa sih?” tanya Titiek lagi, penasaran.

“Ndak, ini nanti saudara-saudara mau datang,” balas Petty datar.

Saudara Titiek pun datang tak lama kemudian. Mereka datang dengan raut yang cemas, seolah ada berita buruk yang harus mereka sampaikan ke sosok lansia yang selalu riang gembira itu. Petty pun membuka suara memecah suasana ganjil tersebut.

SIMAK JUGA :  Diskusi Satupena, Jakob Sumardjo: Budaya Primordial Suku di Indonesia Itu adalah Religio-Magis

“Ma, mama kena kanker, sudah [stadium] satu,” kata Petty perlahan, khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada ibu tercinta.

Titiek mencerna ucapan anaknya itu. Menyadari apa yang dibahas oleh Petty, ia mengerti takdir yang harus ia terima di usianya yang melewati kepala tujuh.

Ia teringat ayahnya, Tugeno Puspowidjojo, juga pernah terkena kanker. Pun dengan kakaknya. Sedangkan sang ibunda, Siti Mariam, punya riwayat penyakit jantung.

“Oh, kena juga toh. Ya sudah,” kata Titiek santai dan tersenyum.

Jawaban Titiek membuat saudara dan keponakan-keponakannya terbengong-bengong. “Aku kira Eyang bakal histeris,” komentar salah seorang keponakannya.

Titiek hanya tersenyum. Ia menenangkan saudara-saudara lainnya bahwa ia masih merasa sehat. Meski masih merasa khawatir, keluarga besar Puspowidjojo kala itu menerima hasil medis dengan tabah.

Di kala malam tiba, justru Titiek yang tak bisa tidur. Ia teringat hasil laboratorium yang membawa keluarga besarnya ke masalah yang sama. Ia gelisah dan memutuskan beranjak dari ranjang.

Kemudian dicarinya sejumlah kontak di buku telepon dan ponselnya. Sendirian di kamar tidurnya, Titiek menelepon beberapa orang yang ia kenal.

“Di Indonesia ada dokter ahli kanker wanita enggak?” tanya Titiek dalam telepon.

“Aduh, ibunya baru ke Amerika, Mbakyu. Mungkin kalau tidak seminggu, dua minggu lagi pulangnya,” jawab suara dari telepon.

“Yah keburu menyebar,” batin Titiek. “Ya sudah, terima kasih ya,” balas Titiek. Ia pun memutuskan tidur malam itu.

Subuh menjelang. Suasana masih sunyi dan masjid mulai menyiapkan azan. Titiek Puspa terbangun dari tidurnya. Ia kembali termenung mengingat kanker.

Seiring dengan suara azan, melintas bayangan Singapura dalam benaknya. “Singapura,” batin Titiek.

Ia lalu beranjak dari ranjang dan mulai membangunkan asistennya dan menyuruhnya berkemas.

Titiek pun mengambil lima kartu kredit dan menjejalkannya ke dalam dompetnya. Merasa ada yang terlupa, ia mengambil ponsel dan mulai memencet nomor tujuan telepon.

“Petty, kamu dan Ella tolong siapkan tiket Mama ke Singapura. Kalian ayo ikut,” kata Titiek sembari membereskan alat riasannya ke dalam tas.

“Kapan Ma?” balas Petty.

“Sekarang. Ini sekarang on the way,” kata Titiek menutup koper.

“Mamaaaa!” suara Petty seolah protes atas tindakan ‘sewenang-wenang’ ibunya itu.

“Sudah, cepat. Mama tunggu,” kata Titiek tak peduli akan protes anaknya dan menutup telepon.

Titiek, kedua anaknya, dan asistennya pun tiba di Bandara Soekarno-Hatta di pagi hari itu. Tak lama, mereka bertolak ke Singapura.

Kisah Masa Kecil

Kontes Bintang Radio pada 1954 tak akan pernah hilang dari ingatan Titiek Puspa. Momen itu pernah menjadi pengalaman memalukan, sekaligus titik balik kariernya sebagai penyanyi tingkat nasional.

Dalam ingatan yang masih tergambar jelas, Titiek Puspa bercerita soal kontes itu dengan bahasa campuran Indonesia dan Jawa, seperti ditulis CNNIndonesia saat berkunjung ke kediamannya di Jakarta Selatan.

“Tahun 54 itu saya juga masih gandrung-gandrungnya ngefan sama Bing Slamet,” kata seniman yang kerap disapa dengan panggilan ‘eyang’ tersebut dengan mata berbinar-binar.

“Saya belum pernah ketemu orangnya. Nah zaman dulu pakai radio roti punya tetangga, suaranya digedein tapi sember. Dia nyanyi aku nangis, suaranya luar biasa,” lanjut Titiek sembari memeragakan memeluk radio roti.

Titiek harus hijrah dari Semarang ke Jakarta untuk mengikuti Bintang Radio yang diadakan Radio Republik Indonesia sekaligus membuka peluang ia bertemu berbagai idola kala itu, termasuk seniman Bing Slamet.

Dan impian Titiek kesampaian. Pada suatu kali, sehari jelang kompetisi yang diadakan di lapangan Monumen Nasional yang saat itu masih berwujud Lapangan Ikada, Titiek melihat Bing Slamet dari kejauhan.

Selayaknya gadis 17 tahun pada umumnya, Titiek ambil langkah seribu mengejar Bing Slamet hanya untuk meminta tanda tangan. Meski tersandung-sandung, dengan Bing Slamet dalam pandangannya, Titiek terus berlari.

Tanda tangan Bing Slamet pun didapat. Sempat terbengong-bengong, Titiek senang bukan kepalang. Kertas bertanda tangan Bing Slamet ia genggam erat, bahkan sampai saat tidur di malam jelang kontes.

Ia pun memamerkan tanda tangan itu ke peserta lain di keesokan harinya jelang pentas, sampai-sampai ia tak mendengar telah dipanggil berkali-kali. Ketika sadar waktunya bernyanyi, Titiek justru melakukan kesalahan fatal.

Bing Slamet, seniman yang amat diidolakan Titiek Puspa.Bing Slamet, seniman yang amat diidolakan Titiek Puspa. (Film Varia via Wikimedia Commons)

“Aku didorong, terus temenku bilang ‘kamu dipanggil’.
Saya berdiri depan mikrofon, lalu masuk intro [lagu] dan saya cuma berkata, ‘ono opo toh iki?’. Blank,” ucap Titiek memeragakan reaksinya dahulu.

“Panitia Semarang sampai bilang ‘guoblok’, mereka marah ini-itu dan saya cuma ‘maaf saya lupa’ sambil nyengir. Dan saya jadi peserta yang pertama kali kalah karena itu,” tambahnya.

Tapi rezeki memang tak ke mana. Itulah yang terjadi dengan Titiek Puspa. Meski tereliminasi pertama, ia kemudian dipilih menjadi pengisi di panggung final Bintang Radio.

Sempat tak percaya, namun ia tetap mengambil tawaran tersebut. Ia pun tampil membawakan Candra Buana. “Alam semesta diselubung sutra/ Gemilang cahaya sang candra/ Bintang sejuta kilauan /Harum madu bunga di taman,” lantun Titiek seraya gemulai seolah memegang mikrofon.

Tak ia sangka, penampilannya itu menghasilkan tepuk tangan meriah dari penonton. Bersyukur akan situasi tersebut, ia pun merasa bernyanyi adalah panggilan hidupnya.

“Di situ saya menetapkan diri saya kalah, tapi saya dapat sambutan luar biasa, dan dari situ saya menetapkan menjadi penyanyi. Dari tahun 54,” ucap Titiek dengan bangga.

Penyanyi Istana dan Papiko

Kembali ke Semarang tidak menghentikan karier Titiek. Ia pun mulai diajak rekaman oleh Lokananta yang rajin datang ke berbagai stasiun RRI.

Ia pun menarik perhatian Nien Lesmana, ibunda musisi Indra Lesmana, untuk melakukan rekaman di label milik Nien, Irama Record.

Baru menetap secara permanen di Jakarta pada 1959, Titiek menarik minat berbagai kalangan masyarakat, hingga Presiden Soekarno yang masih memerintah kala itu.

Titiek pun dipanggil oleh presiden yang fotonya tercantum di ruangan pelantun Dansa Yo Dansa tersebut, karena ketenarannya.

Tak sekadar dipanggil, Titiek Puspa pun diminta menyanyi oleh Bung Karno.

Meski gemetaran karena grogi, Titiek sanggup membuat Bung Karno terpukau dan menjadikannya penyanyi Istana Negara pertama.

“Pernah juga ada seniman mau dikirim ke Amerika, lalu saya dipanggil, ‘semua sekarang lihat Titiek Puspa, pakai kain seperti dia. Lihat kainnya tidak naik, jalannya gagah’, saya cuma, ‘ya ampun’, itu ada hall panjang di Istana Bogor dari utara selatan melihat,” kenangnya akan perintah Soekarno.

Karier Titiek pun semakin menanjak. Bukan hanya menyanyi, Titiek juga ditawari main film. Adalah Misbach Yusa Biran, mendiang suami aktris Nani Wijaya, yang menerjunkan Titiek ke dunia film melalui Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966).

Titiek menyebut berbagai tawaran yang datang ia ambil lantaran faktor ekonomi. Apa pun akan ia lakukan demi menambah penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Namun, ia lebih senang menyanyi dibanding main film.

“Sudah kerja keras, duitnya dikit dibanding nyanyi. Nyanyi dua jam, sama kayak berbulan-bulan main film,” celoteh Titiek yang diketahui telah membintangi 21 judul film tersebut.

Titiek pun dikenal masyarakat bukan hanya dari menyanyi dan film, namun dari operet Papiko atau Persatuan Artis Penyanyi Ibukota yang ia inisiasi pada 1972.

“Waktu itu saya seperti kesetanan, membuat lagu, sampai seminggu reading dan belajar aktingnya. Itu dibuat TV tayang setiap takbiran,” kenangnya.

Papiko yang kala itu tayang menjelang momen Idulfitri juga dibangun di antaranya oleh Lilis Suryani, Elly Kasim, Anna Mathovani, Widyaningsih, Titiek Sandhora, Muchsin Alatas, dan masih banyak lagi.

“Itu semua penyanyi kayak ‘aku ikut aku ikut’ [berebut], sampai yang namanya Rhoma Irama, sebelum jadi kesatria bergitar,” katanya.

“Aku bikin bukan cuma buat Lebaran, tapi buat Natal, Hari Ibu, Hari Anak dengan mengambil tema kehidupan sehari-hari, ya ada saja,” tambahnya.

Papiko terutama memiliki kesan khusus akan Titiek dan mendiang suaminya, Mus Mualim.

Keduanya menikah pada 1970. Namun Mus Mualim meninggal pada 1 Januari 1991. Titiek mengaku sering menciptakan lagu dibantu oleh Mus yang seorang pianis.

“Kalau buat lagu, ‘Ma, ini notnya gimana’. Enggak ada not baloknya, aku nyanyi baru dia bisa gonjreng,” kenang Titiek.

Kisah kehidupan Titiek Puspa yang dekat dengan anak-anak ada di artikel Pesan Titiek Puspa untuk Tien Soeharto sampai Jokowi.(*)

Awaluddin Awe
awal.batam@gmail.com
Sumber : CNNIndonesia