JAKARTA – KH Abdul Wahid Hasyim merupakan tokoh perjuangan yang tidak henti-hentinya mengonsolidasikan potensi kekuatan rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Mulai dari pesantren ke pesantren, bahkan kerap menyampaikan informasi penting kepada rakyat melalui tokoh-tokoh di daerah.
Perjuangan strategis itu juga membuat KH Wahid Hasyim kerap didatangi tamu tokoh-tokoh pergerakan nasional yang turut bergerilya melawan penjajah, di antaranya Tan Malaka. Untuk menyamarkan identitasnya, Tan Malaka mengaku sebagai seorang petani ketika hendak menemui KH Wahid Hasyim untuk memperkuat konsolidasi perjuangan rakyat. Sekitar Mei 1945, KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001: 274) mengisahkan ketika seorang pemuda Ansor Jakarta bernama Fatoni memberitahukan kepadanya bahwa seorang petani bernama Husin akan meminta untuk berjumpa dengan KH A. Wahid Hasyim.
Petani Husin ini akhirnya dapat bertemu dengan KH Wahid Hasyim. Mereka cukup lama mengadakan pembicaraan. Setelah sang petani itu pergi, KH Wahid Hasyim memberitahukan kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa yang dimaksud seorang petani adalah Tan Malaka, tokoh terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, guru Adam Malik dan Chairul Saleh. Namun demikian, baik KH Wahid Hasyim maupun Tan Malaka memiliki jalur masing-masing dalam melakukan perjuangan melawan penjajah. KH Wahid Hasyim lebih banyak berinteraksi dengan pesantren, rakyat jelata, mendirikan wadah untuk menanamkan spirit nasionalisme kepada anak-anak muda, terutama. KH Wahid Hasyim juga sesekali melakukan diplomasi strategis untuk mengupayakan kemerdekaan bangsa Indonesia
Berbicara penyamaran, Tan Malaka memang kerap berganti-ganti nama ketika sedang berada di suatu daerah dan negara. Selain nama Tan Malaka, ia juga punya banyak nama samaran lain di antaranya, Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong. Tak banyak tokoh pergerakan nasional yang pandai menyamar dan berkali-kali lolos dari kejaran aparat kolonial. Jika banyak tokoh pergerakan Indonesia terkenal karena pembuangannya, seperti Sukarno di Bengkulu, Hatta dan Syahrir di Boven Digoel, maka Tan Malaka terkenal karena gerakan bawah tanah (underground) dan penyamarannya.
Lain dari Tan Malaka, KH Wahid Hasyim memilih perjuangan terbuka. Putra KH Hasyim Asy’ari tersebut lebih memanfaatkan kekuatan diplomasi selain tentu saja menyiapkan laskar atau pasukan kalau-kalau terjadi perlawanan bersenjata.
Dalam upaya menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan itu, Kiai Wahid Hasyim kerap mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta Kiai Wahid bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional dan kalangan pemuda. Di daerah-daerah, beliau mempunyai anak buah dari kalangan supir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Selain itu, hubungan, jaringan, dan koneksi dengan dunia pesantren tambah diperkuat. Konsolidasi tak biasa dari ‘Pasukan Rakyat Jelata’.
Perjuangan melawan pendudukan Jepang bagi santri dan ulama pesantren tidak kalah sulit. Apalagi ketika salah satu guru para ulama di Jawa, KH Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang karena tuduhan mengada-ada. Kontak fisik dan senjata kerap terjadi, diplomasi dan perundingan terus dilakukan, sembari melakukan riyadhoh rohani untuk meminta kekuatan, perlindungan, pertolongan Yang Maha Kuasa.
Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang, KH Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia. (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)
Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh Kiai Wahid Hasyim harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah Gus Dur itu mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakal kepada Allah SWT.”
Dalam perjuangan penuh liku-liku menghadapi Jepang, pada tahun 1945, Indonesia berhasil memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H. Seluruh pergerakan nasional dari santri, tokoh nasionalis, dan rakyat tidak terlepas dari bimbingan kiai-kiai pesantren terutama KH Hasyim Asy’ari. Namun, proklamasi kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan karena Indonesia masih harus berjuang menghadapi agresi militer Belanda II dan para pemberontak.
Sumber: NU