Terdakwa Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Empat santriwatinya Sampai Sidang lanjutan ke Enam masih dalam Agenda keterangan saksi Meringankan di PN Mungkid Kabupaten Magelang pada Senin ( 16/12/2024 ).
Harianindonesia.id – Jawa Tengah, Kasus Kekerasan seksual yang melibatkan oknum kyai pemilik sekaligus pimpinan pondok pesantren di Magelang terhadap empat santriwatinya masih berlanjut. Dalam sidang yang digelar pada Senin, 16 Desember 2024, agenda mendengarkan keterangan saksi yang meringankan dari pihak terdakwa Ahmad Labib Asrori.
Terdakwa menghadirkan dua saksi yang diharapkan dapat memberikan keterangan meringankan yakni AMS ( 51 ) merupakan seorang dari Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) berasal dari desa Balekerto, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang dan FS ( 46 ) seorang dosen yang di datangkan dari Malang Jawa Timur.
Proses persidangan Kasus Kekerasan seksual menimpa empat orang santriwati yang di lakukan oleh gurunya sendiri yang menjadi pemilik sekaligus pimpinan pondok pesantren Irsyadul Mutadiin, Yakni Ahmad Labib Asrori.
Selain itu Ahmad Labib Asrori merupakan panutan umat, Yang juga pernah menjabat sebagai ketua DPRD kabupaten Magelang dan pernah menjadi Ketua khatib Syuriah PCNU Magelang dan menjadi pengurus partai PKB tetapi hingga kini persidangan masih berlanjut hingga ke enam kalinya, Dalam tahap adenda keterangan saksi meringankan.
Proses persidangan yang di pimpin oleh majelis hakim Fahrudin Said Ngaji, S.H, M.H dengan hakim anggota Alda Rada Putra, S.H dan Alfiani Wahyu Pratama, S.H, M.H, Panitrera Ari Legowo,S.E,S.H, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Naufal Ammanullah, S.H dan Aditya Oktavian, S.H. Proses persidangan secara tertutup.
Terdakwa kasus kekerasan seksual yakni Ahmad Labib Asrori menghadirkan dua saksi yang diharapkan dapat memberikan keterangan meringankan yakni AMS ( 51 ) merupakan seorang dari Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) berasal dari Balekerto Kecamatan Kaliangkrik, Magelang dan FS ( 46 ) seorang dosen dari universitas di Malang, Jawa Timur.
Terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap empat santriwati menghadirkan salah satu saksi dari orang tua santri lain untuk memberikan kesaksian yang dianggap meringankan. Namun, kesaksian tersebut hanya mencakup penilaian mengenai sikap terdakwa yang dianggap agamis di lingkungan Pondok Pesantren tanpa mengaitkan langsung dengan kejadian pencabulan yang didakwakan.
” Jaksa Penuntut Umum ( JPU ) Aditya Oktavian, S.H Menjelaskan satu saksi meringankan hanya memberikan kesaksian terhadap sikap terdakwa yang dinilai baik dan menyangkut Ketokohannya selama ini, tidak menyangkut langsung dengan kejadian pencabulan,”
Aditya menegaskan bahwa meskipun terdakwa tampak agamis. Hal tersebut tidak dapat dijadikan acuan bahwa ia tidak melakukan tindak pencabulan terhadap santriwatinya. Meskipun sikapnya terlihat agamis selama ini, itu bukan jaminan bahwa dia tidak melakukan hal yang didakwakan padanya,
Agenda sidang selanjutnya terdakwa menghadirkan satu orang saksi lagi, Jelasnya.
Disela proses persidangan komandan GPK Aliansi Tepi Barat Pujiyanto akrab dengan sebutan Yanto Petok’s yang yang memimpin langsung GPK Aliansi Tepi Barat beserta sayap mengawal dan mengawasi pelaksanaan proses persidangan di pengadilan Negeri Magelang menegaskan Kasus ini masih dalam proses hukum, seharusnya dengan fokus utama pada pembuktian berdasarkan keterangan saksi korban dan barang bukti yang relevan.
“Publik baik kami GPK Aliansi Tepi Barat beserta sayap sayapnya dan juga seluruh komponen masyarakat menanti kelanjutan dari proses peradilan yang akan menentukan langkah selanjutnya dalam kasus pencabulan yang menggegerkan dunia pondok pesantren Magelang, Provinsi Jawa Tengah ini,” Tegasnya.
Yanto Petok’s berharap, Proses hukum terkait kasus pencabulan yang dilakukan Labib terhadap empat santriwatinya fokus pada pembuktian fakta berdasarkan alat bukti yang sah. Majelis hakim dan jaksa penuntut umum di harapkan terus menyelidiki dengan cermat setiap keterangan dan bukti yang ada untuk memastikan keadilan dapat ditegakkan.
Dikesempatan yang sama Akhmad Sholihuddin .S.H dari tim penasehat hukum korban mengatakan prihal kerentanan dan ketakutan korban kekerasan seksual di pondok pesantren, Yakni Kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama atau pondok pesantren dinilai tinggi.
” Menurutnya, korban kekerasan seksual di pondok pesantren seringkali mengalami ketakutan akibat relasi kekuasaan berlapis antara pelaku yang merupakan pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki pengaruh besar” jelasnya.
” Korban kekerasan seksual di pondok pesantren sering kali merasa terjebak dalam situasi yang sulit, karena pemilik pesantren dan guru pesantren seringkali ditempatkan pada posisi terhormat oleh masyarakat. Hal ini membuat korban dan keluarganya merasa takut untuk berbicara dan mencari keadilan, karena adanya ancaman baik secara langsung maupun tidak langsung dari pelaku” Ungkapnya.
Meskipun demikian, Akhmad Sholihuddin .S.H memuji keberanian empat santriwati dan keluarganya yang berani bersuara dan mencari keadilan terkait kasus kekerasan seksual yang dialami. Mereka dianggap sebagai pahlawan yang berani melawan ketakutan dan mengungkapkan kebenaran.
“Kasus kekerasan seksual ini yang terjadi di pondok pesantren Irsyadul Mutadiin Kecamatan Tempuran, Magelang, Menunjukkan betapa pentingnya perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Pihak berwenang, instansi terkait diharapkan dapat memberikan perlindungan yang cukup bagi korban dan membantu mereka dalam proses perjuangan mencari keadilan” Tegasnya.
“Dengan adanya pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual di pondok pesantren, diharapkan masyarakat juga dapat lebih aware terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekitar dan memberikan dukungan bagi korban untuk berani bersuara dan mencari keadilan” Pungkasnya.
( Tri )