Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Tan Malaka

Oleh : Ben Ibratama Tanur (*

Tanggal 6 Agustus 1945 Bom Atom dijatuhkan di Hiroshima. Tanggal 7 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diumumkan Saigon.

Tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dkk berangkat ke Saigon melalui Singapura. Tanggal 11 Agustus 1945 Marsekal Terauchi melantik Soekarno dan Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI di Dalat.

Tanggal 13-14 Agustus 1945 Soekarno Hatta sampai di Jakarta dengan selamat dan disambut meriah para petinggi Jepang antara lain Marsekal Laut Maeda.

Saat kembalinya Soekarno-Hatta, desas-desus akan takluknya Jepang sudah jadi bahan bibir di masyarakat.

Pidato radio Kaisar Jepang 15 Agustus 1945 yang menyatakan penyerahan Jepang sangat mengagetkan pembesar Jepang maupun para pemimpin Indonesia terkait dengan kemerdekaan yang akan datang. Rencana mereka akan sebuah negara sendiri kembali menjauh.

Hatta bermaksud melanjutkan rencananya dengan PPKI dan menyiapkan rancangan naskah proklamasi kemerdekaan tersebut.

Kaum muda mengetahui betul jatuhnya Jepang. Sidang kilat 15 Agustus 1945 membawa sidang berbagai kelompok. Bagi pemuda kemerdekaan Indonesia tidak boleh berbau Jepang. Bersih dari noda-noda Jepang.

Jika pemimpin tua — Soekarno, Hatta bimbang dan menolak, maka kaum muda akan menyatakan kemerdekaan itu. Tidak tercapai titik temu. Jawaban pemuda adalah dengan “menculik” Soekarno dan Hatta.

Pagi buta kedua tokoh ini dibawa Sukarni Kartodiwirjo dkk ke Rengasdengklok — dengan isu keselamatan Soekarno Hatta dalam bahaya.

Situasi tetap dalam keadaan tegang. Setelah bersitegang antara pemuda, dan tokoh tua dalam PPKI, akhirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disepakati ditandatangani Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia ; 17 Agustus 1945.

Tan Malaka

Dua puluh tahun sebelum Soekarno Hatta membaca teks proklamasi, Tan Malaka telah menulis brosur Naar De Republik Indonesia ( menuju Republik Indonesia) di Kanton Cina.

Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan Soekarno, di mana Ibrahim Datuk Tan Malaka yang saat itu berusia sekitar 49 tahun?

Padahal proklamasi itu adalah perwujudan cita-cita tokoh bangsa asal Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat dan puluhan tahun yang dia perjuangkan?

Pada 9 Agustus 1945 Tan Malaka berangkat dari Rangkas Bitung menuju Jakarta. Pada 14 Agustus siang, Tan Malaka menemui tokoh pemuda Sukarni, yang belakangan diketahui adalah “otak” dibalik penculikan Soekarno Hatta.

Dalam pertemuan dengan Pemuda Banten, 9 Agustus itu, Tan Malaka yang masih menggunakan nama samaran Ilyas Husein dalam rapat BIMA ( Barisan Indonesia Merdeka) yang mengordinasi rakyat Banten melawan pemerintah pendudukan dan melakukan sabotase-sabotase.

Dalam pidatonya Tan Malaka menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus ditandatangani Sukarno Hatta yang bisa dipandang sebagai mewakili rakyat Indonesia.

Atas pertanyaan bagaimana jika Soekarno Hatta tidak bersedia menandatanganinya dengan tegas Tan Malaka (Husein) memberi jawaban dengan tegas ;

“Saya sanggup menandatanganinya asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya.”

Waktu ketemu Sukarni di Manggarai, Tan Malaka memperkenalkan diri sebagai Ilyas Husein, yang mewakili Pemuda Banten.

Bagi Tan Malaka juga tak mudah waktu itu untuk membuka jati dirinya. Dia adalah buruan banyak negara imperialis, tak terkecuali Jepang yang sangat bengis dengan dukungan polisi rahasia Kampetainya yang sangat sadis.

Apalagi Tan Malaka juga mendengar desas-desus tentang dirinya yang dibikin Tan Malaka palsu oleh Jepang untuk memprovokasi pengikut radikal Tan Malaka atau orang-orang pemimpi yang mengeksploitasi kharisma legendaris Tan Malaka demi prestise dan keuntungan pribadi.

Hatta dan Ahmad Subardjo bertahun-tahun bersama Tan Malaka di Eropa tentu akan mengenalinya. Tapi mereka sepenuhnya masih berada dalam pengaruh Jepang.

Di pihak lain di depan pemuda Jakarta, Ilyas Husein betapapun ia tampil sebagai tokoh yang menarik, namun juga sebagai tokoh yang belum begitu dikenal karena puluhan tahun jadi buronan polisi rahasia Belanda, Amerika Serikat, Inggris dan Jepang.

SIMAK JUGA :  TPN Ganjar-Mahfud Desak KPU Lakukan Audit Investigasi Sumber Kesalahan Input Data, Aria Bima : Untuk Apa Pemilu Kalau Curang?

Juli 1945, Sutan Sjahrir mencari Tan Malakakarena dianggap sebagai tokoh yang paling layak membacakan teks proklamasi.
Meskipun dikenal juga sebagai tokoh gerakan bawah tanah menentang Jepang, Sjahrir bukanlah sosok yang pantas, karena dia dianggap kurang begitu populer di kalangan masyarakat. Sedangkan Sukarno-Hatta adalah kolaborator Jepang.

Rudolf Mrazek dalam bukunya, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, menceritakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan Sjahrir untuk mencari Tan yang 20 tahun berada dalam pelarian.

Setelah beberapa kali mencari, Sjahrir akhirnya berhasil bertemu dengan Tan. Tapi upaya Sjahrir gagal, Tan merasa tidak siap untuk membacakan teks proklamasi. Sebenarnya sangat disayangkan, ketika proklamasi dikumandangkan, tidak ada sosok Tan Malaka di sana.

Buku Naar De Republik Indonesia itu selanjutnya menjadi pegangan wajib tokoh-tokoh pergerakan nasional waktu itu, termasuk juga Sukarno. Tidak bisa hadir saat proklamasi bisa jadi menjadi penyesalan terbesar bagi tokoh sekaliber Tan Malaka.

Meski demikian, bukan berarti dia tidak mempunyai peran penting. Beberapa literatur mengatakan, bahwa tokoh yang menggerakkan Sukarni dan rekan-rekannya, adalah Tan Malaka.

Meski demikian, Tan Malaka tidak bisa seenaknya keluar menampakkan diri, karena dia masih dalam status buron pemerintah militer Jepang.

Sekira tiga minggu selepas proklamasi, Sukarno menyuruh Sayuti Melik mencari Tan Malaka. Sukarno ingin bertemu karena ia mendengar bahwa Tan tengah berada di Jakarta. Sebagai bagian dari golongan muda, Sayuti cukup tahu di mana Tan berada. Pertemuan pun diatur sedemikian rupa.

Dalam kesaksiannya yang pernah dimuat di Sinar Harapan 1976, Sayuti mengatakan bahwa Sukarno berpesan kepada Tan untuk mengganti posisi Sukarno jika ada sesuatu terjadi dengan dirinya dan Hatta.

Amanah Sukarno ditanggapi dengan biasa oleh Tan. Itu tertulis dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan, “saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah lama saya idamkan.”

Kemerdekaan tidak menjadikan hidup Tan merdeka, ia tetap menjadi tokoh yang dikejar-kejar, bahkan oleh negara yang dicita-citakannya sendiri.

Pada tahun 1957 Sukarni dalam rapat peringatan untuk Tan Malaka menceritakan pertemuannya dengan Tan Malaka.

Bertemu pertama kali pada Juni 1945. Menurut Sukarni apa yang dibicarakan Tan Malaka itu persis dengan isi buku Tan Malaka yang dipegang Sukarni sejak masa lampau. Tapi sejujurnya Sukarni juga ragu Husein bisa jadi juga mata-mata Jepang.

Soekarni tergugah oleh Husein dan memantapkan pendapatnya proklamasi sudah dekat. Sampai Sukarni menyiapkan kamar untuk Husein tinggal di kamar belakang rumahnya.

Tan Malaka sendiri juga menceritakan pertemuan itu dalam autobiografinya. Sesudah pertemuannya dengan Sukarni dan Chairul Saleh, ia mendapat kesan mereka mengenal ide-ide politiknya dan mengikutinya. Tapi ia tetap menggunakan nama Husein dan tak berani melangkah jauh.

Tan Malaka menulis :
Malangnya pula pemuda Sukarni kelihatan sangat sibuk sekali pada tanggal 15 Agustus. Banyak orang yang keluar masuk rumahnya dan banyak hal yang disembunyikannya. Setelah saya menguraikan pendapat saya tentang keadaan waktu itu dan mengusulkan sikap dan persiapan yang harus dilakukan (pengerahan massa) maka saya ditinggalkan oleh pemuda Soekarni. Saya diminta menunggu di kamar belakang rumahnya. Waktu malam Saudara Sukarni pulang sebentar. Tapi sesudah itu saya tidak melihat mukanya lagi sampai satu setengah bulan sesudah proklamasi. Dengan putusnya hubungan dengan Saudara Sukarni dan Chairul Saleh justru satu hari sebelum proklamasi sampai satu setengah bulan sesudah proklamasi maka putus pula perhubungan saya dengan para pemuda yang kiranya sepaham dengan saya. Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tiada mengizinkan saya campur tangan hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan. Tapi sejarah tiada memperdulikan penyesalan seseorang manusia atau pun segolongan manusia.”

*) Ben Ibratama Tanur
Pendiri Tan Malaka Institute