Jakarta, harianindonesia.id – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud M.D. menyampaikan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa memberhentikan Setya Novanto dari jabatan Ketua DPR meskipun statusnya masih tersangka.
Pakar Hukum Tata Negara ini menilai pemberhentian itu tak perlu menunggu putusan praperadilan. Menurutnya, Setnov yang kini ditahan KPK bisa dijadikan dasar pemberhentian oleh MKD karena terindikasi melanggar etika sebagai anggota dewan.
“MKD itu dibentuk untuk bisa menyatakan orang itu diberhentikan atau tidak diberhentikan,kalau Setya Novanto bisa diberhentikan,karena telah melanggar etika,” ujar Mahfud pada media pada Sabtu (25/11).
Dikutip dari cnnindonesia.com Mahfud menjelaskan, dalam TAP MPR Nomor 6 dan 8 Tahun 2001 memungkinkan sanksi pelanggaran etik lebih dahulu dijatuhkan tanpa harus menunggu sanksi pidana.
Aturan itu mengamanatkan para penyelenggara negara harus siap mundur jika melanggar etika, kaidah dan nilai untuk memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Mahfud mengatakan, hal ini pernah terjadi saat Akil Mochtar diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi pada 2013.
“Jadi sanksi etik bisa mendahului hukum, tak perlu menunggu putusan hukum,” tambahnya.
Mahfud menambahkan, surat Setya Novanto yang menolak dicopot sebagai Ketua DPR tidak memiliki pengaruh apapun. Ia meminta MKD tetap independen. Menurutnya, MKD tetap bisa memutuskan perkara Setya Novanto karena telah menimbulkan polemik di masyarakat
Mahfud lantas membandingkan kinerja MKD dengan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (BK DPD) yang berani memberhentikan Irman Gusman sebagai Ketua DPD karena dinilai melanggar kode etik setelah menjadi tersangka dalam kasus suap impor gula pada 2016.
Mantan Menteri Pertahanan ini menilai, MKD dinilai terlalu lamban mengambil sikap memutuskan perkara etik Setya Novanto.
“Ya, tak ada bedanya (Kasus Setnov dan kasus Irman Gusman), bedanya cuma DPD berani memberhentikan, tapi DPR tak mau. Kalau DPR mau, bisa diberhetikan itu, kalau mau lho, gitu saja,” ujarnya.(Doni)