MOCHAMAD ARDIAN
JAKARTA – Kasus surat Gubernur Sumbar minta sumbangan pembuatan buku Profil Sumbar dari berbagai versi bahasa sudah ditanggapi Mendagri. Gubernur dan Sekdaprof sudah ditegor dan diminta menarik kembali surat tersebut, sebab berpotensi memicu moral hazard atau memperkaya pihak lain.
Dirjen Bina Keuangan Daerah (Keuda) Mochamad Ardian menegaskan bahwa kebijakan Gubernur Sumbar menerbitkan surat resmi yang kemudian dipakai untuk meminta sumbangan secara hirarki salah dan menyalahi aturan yang ada.
“Dan pak Mendagri sudah meminta kepada saya untuk membuat surat edaran kepada seluruh gubernur, bupati dan walikota untuk tidak melakukan hal sama (seperti dilakukan Gubernur Sumbar, Red) sebab berpotensi menimbulkan moral hazard yakni Pemda memperkaya pihak lain,” kata Ardian kepada Kabarpolisi.com dan Harianindonesia.id melalui saluran telepon selulernya, Kamis (1/9/2021) siang.
Menurun Dirjen Keuda, pemahaman tentang sumbangan pihak ketiga di dalam undang undang Pemerintah Daerah adalah dana yang disumbangkan masuk ke dalam kas daerah untuk kemudian dipakaikan kepada kegiatan yang melibatkan pihak ketiga tersebut.
Bukan sebaliknya, masuk ke rekening pihak kedua dan apalagi masuk ke rekening pribadi pihak kedua.
Oleh sebab itu, kata Dirjen, dirinya sudah meminta kepada Gubernur dan Sekdaprof Hansastri, yang disebut Andrian adalah mantan Ketua Bappeda, sebagai sumber munculnya surat menghebohkan itu, agar mengembalikan kembali dana pihak ketiga yang sudah ditransfer ke rekening tim pembuat buku tersebut.
“Tujuannya adalah untuk meluruskan mekanisme yang salah, yang sudah dilakukan Gubernur Sumbar bersama tim pembuat buku profil Sumbar tersebut,” ujarnya.
Atas persoalan ini pula, tambah Adrian, Mendagri melarang gubernur, bupati dan walikota untuk menerbitkan buku jenis apapun, baik dalam bentuk buku pariwisata dan sebagainya, dengan melibatkan pihak diluar pemerintah daerah.
Sebab, katanya, cara cara seperti itu akan menumbuhkan moral hazard yakni memberikan peluang kepada pihak kedua untuk memperkaya dirinya atas bantuan orang Pemda.
“Itu pula alasannya pak Mendagri meminta saya menurunkan surat edaran kepada para gubernur, bupati dan walikota untuk tidak membuat surat seperti dilakukan Gubernur Sumbar,” papar Adrian.
Ditanya tentang apa sanksi yang diberikan kepada Gubernur dan Sekdaprof Sumbar atas permasalahan surat minta sumbangan itu, Dirjen Keuangan Daerah sebagai pembina keuangan daerah bersifat pembinaan dan meluruskan kebijakan yang sudah salah.
Secara administratif, menurut Adrian, surat tegoran yang dilayangkan kepada Gubernur dan Sekdaprov Sumbar sudah merupakan sanksi. Tetapi Kemendagri tidak bisa memberikan hukuman lebih sebab permasalahan itu sudah dicarikan jalan keluarnya dan tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas perkara sumbangan tersebut.
Tak akan Intervensi Polri
Bahwa kemudian, kasus ini sudah ditangani Polisi, dengan menggunakan parameter hukum atas penggunaan surat Gubernur tersebut dalam menghimpun dana pihak ketiga yang salah secara mekanisme administrasi itu dan melanggar KUHAP, Dirjen Keuda mempersilahkan polisi menggunakan haknya.
“Silahkan periksa, kami dari Kemendagri tidak akan mengintervensi pekerjaan polisi. Selagi saluran hukum yang dipakai relevan dengan persoalan yang terjadi pada kasus surat Gubernur Sumbar ini,” papar Adrian.
Kemendagri sendiri, lanjut Dirjen Keuda, juga menjadikan kasus ini sebagai masukan dalam mekanisme pembinaan daerah. Sebab kasus seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Gubernur Sumbar Mahyeldi membuat heboh jagad maya karena menerbitkan surat sakti untuk meminta sumbangan dari pihak ketiga untuk membiayai Penerbitan Profil dan Potensi Provinsi Sumatera Barat.
Surat bernomor 005/3984/V/Bappeda-2021 tertanggal 12 Mei 2021 itu jadi heboh setelah masuk laporan ke Polresta Padang. Dugaan tuduhan semula penipuan patah, setelah polisi tidak menemukan unsur penipuan itu.
Polisi kemudian memperluas pemeriksaan surat gubernur itu dari sisi gratifikasi dan korupsi.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Andalas Prof Elwi Danil menyebut bahwa surat Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk pembiayaan penerbitan buku profil Sumbar, bersifat memaksa dan itu yang menjadikannya sebagai perbuatan korupsi.
“Tentu saja ini punya implikasi hukum tentang korupsi. Dalam hukum tindak pidana, ini sering disebut sebagai permintaan memaksa oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara,” kata Elwi Danil kepada wartawan, Senin (23/8/2021) di Padang.
Menurut Elwi Danil, tindak pidana korupsi dalam bentuk permintaan memaksa ini dijelaskan dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia menilai surat tersebut termasuk paksaan.
“Keterpaksaan yang dimaksud dalam pasal ini bukan berupa memaksa secara fisik, tapi adalah keterpaduan psikis. Dalam KUHP asli dikenal dengan sebutan ‘knavelarji’ dan tadinya diatur dalam pasal 423 KUHP yang kemudian diambil alih pengaturannya oleh UU Korupsi, sehingga menjadi terkategori sebagai tindak pidana korupsi,” jelas Elwi.
“Tanpa bermaksud mendahului proses yang dilakukan polisi, saya melihat, ketentuan dalam pasal 12 huruf e itu seyogianya bisa diarahkan,” sambungnya.
Berikut ini bunyi pasal 12 huruf e:
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Dia mengatakan si pemberi bantuan harus terbukti memberi terpaksa secara psikis memenuhi keinginan atau permintaan sesuai dengan surat yang ditandatangani Gubernur Sumbar. Dia menilai ada unsur paksaan dalam surat itu meski disebut sebagai permintaan sumbangan.
“Walaupun modusnya minta bantuan, namun ada unsur keterpaksaan di sana. Karena ditandatangani Gubernur, maka berat bagi pihak yang menjadi alamat surat pengajuan untuk menolak. Sudah cukup apabila si pemberi bantuan mengatakan bahwa dia menjadi tidak enak dengan Gubernur kalau tidak ikut membantu,” katanya.
Jika pemberi bantuan tak mengaku terpaksa, katanya, si pemberi bisa dinilai sebagai pihak yang memberi gratifikasi. Menurutnya, hal itu diatur dalam Pasal 13 UU Tipikor. Berikut ini bunyi pasal 13:
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000
“Tak elok seorang Gubernur membuat surat seperti itu, apalagi surat di luar kedinasan untuk membantu satu pihak. Kekeliruannya di sana,” tutur Elwi. (*)
Awaluddin Awe